Culture & Art

Candi Muaro Jambi: Yang Termashyur, Hilang, dan Kembali

Nusantara pernah menjadi tempat belajar terbesar di dunia. Bahkan, ajaran-ajaran itu masih dipakai hingga hari ini.

Sayangnya, beribu-ribu tahun informasi itu seakan lenyap. Tak ada yang pernah membicarakan bahkan hampir tak tertulis di mana pun.

Siapa sangka, wilayah itu terletak di Swarnadwipa atau kini dikenal Sumatra, tepatnya di Muara Jambi. “Di dalam khasanah sejarah nasional kita belum masuk, Muara Jambi enggak masuk,” beber Kepala Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi Agus Widiatmoko saat berbincang di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi, Kamis, 16 Maret 2023.

Agus menyebut bahkan di kalangan arkeolog, literatur, maupun acuan buku pembelajaran waktu itu tak pernah tersebut tentang Muara Jambi. Dulu, masyarakat juga belum mengenal Muara Jambi. Mereka hanya mengenal Muara Takus yang mana sebetulnya berada di Riau bukan Jambi.

“Kita buka literatur juga enggak ada, enggak ada. Semua bilang Muara Takus. Kalau kita ke Muara Jambi, Muara Takus itu,” beber Agus.

Jejak pusat pendidikan

Agus mengatakan ada dua peristiwa penting yang menghubungkan Swarnadwipa dengan pusat perguruan atau pembelajaran, khususnya agama Buddha.

Pertama, seorang peziarah Buddhis, I Tsing, dalam catatannya menyebut dari China ia hendak ke Nalanda (India). Namun, ia sempat singgah di Moloyoe (Melayu), salah satu daerah di Sumatra.

Selama enam bulan di Sriwijaya dia memperdalam bahasa Sanskrit sebelum melanjutkan perjalanan ke Nalanda. Di Sriwijaya, I Tsing belajar dengan salah satu guru terkenal, yaitu Satyakerti.

Setelah pulang dari Nalanda, I Tsing kembali ke Swarnadwipa selama empat tahun lebih untuk menyalin teks-teks Sutra Buddhis, kemudian dikirim ke China.

“Ajaran Satyakerti ini masih dipakai di China yang sekarang disebut Mansyab Tongkat,” cerita Agus.image medcom© Disediakan oleh Medcom.id

image medcom

Kepala Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi Agus Widiatmoko. Medcom.id/Renatha Swasty

Kedua, naskah biografi Atisa Dipamkara Srijanana. Agus yang juga seorang arkeolog bercerita, Atisa sebenarnya orang India yang masa mudanya belajar filsafat Buddhis di Wikramasila kemudian pindah ke Nalanda.

“Setelah lulus, dia direkomendasikan memperdalam ajaran Buddha ke Swarnadwipa, jadi Phd-nya ke sini,” kata Agus sambil terkekeh.

Agus menyebut Atisa belajar ke Swarnadwipa lantaran ajaran Buddhis di Nalanda pada Abad ke-7 sudah mulai hilang. Atisa belajar di Swarnadwipa selama 12 tahun sejak 1012-1024.

Atisa belajar langsung kepada Acarya Dharmakirti, seorang Bhikkhu terkenal pada waktu itu diperintahkan oleh Raja Melayu menyusun kitab filsafat Buddhis yang dikenal dengan nama Abisamaya Alamkara Pradjna Paramita.

“Ketika sudah selesai belajar di sini, yang dia sebut sudah mencapai tahap Boddhicita, dia ditasbihkan sebagai katakanlah biksu-biksu yang sudah mendapatkan Boddhicita,” papar Agus.

Keping-keping pembuktian

Agus menyebut dua catatan penting soal Swarnadwipa sebagai pusat pembelajaran membuat dirinya terus menggali wilayah yang saat itu dijadikan perguruan. Keping-keping dikumpulkan untuk menemukan jejak-jejak peninggalan besar.

Dia mencari di sejumlah daerah di Sumatra, seperti Palembang yang merupakan kota dagang Sriwijaya dan Muara Takus. Namun, di dua tempat itu tak ditemukan jejak-jejak perguruan.  

“Kemudian kita berhipotesa jangan-jangan malah di Muara Jambi. Karena letaknya tidak jauh dari pantai Timur Sumatra. Jadi, kadang orang orang Jawa itu terpaku oleh kamus kalau Muara itu pertemuan sungai dan laut. Tapi di Sumatra tidak. Sungai kecil dan sungai besar itu muara,” tutur dia.

Benar saja, di Muara Jambi ditemukan sisa-sisa purbakala atau candi berupa ratusan batu bata saling berjejer. Tak cuma itu, sisa-sisa purbakala satu dan yang lain dihubungkan dengan jalur air. Saluran air baik alam maupun buatan mengelilingi kawasan dan menghubungkan satu tempat ke tempat lain.

Agus menyebut tradisi India, orang-orang Arya dan Persia ketika datang membawa kebudayaan mereka yaitu suka membuat taman.

“Kita lihat ini konsepnya apa sih sebenarnya? Kawasan ini sedikit aneh, mirip taman yang hilang. Kita ingat kata-kata orang India, orang-orang dari luar kita, itu menyebut sini adalah Swarnadwipa,” tutur Agus.  

Swarnadwipa dalam mitologi India digambarkan sebagai suatu tempat yang dianggap suci atau sebagai tempat yang disebut kosmologi-nya semua Cakrawala terwakili di suatu tempat.

Samudra terwakili oleh Sungai Batanghari, benua terwakili oleh pulau-pulau, dan gunung terwakili oleh bangunan candi. Pulau-pulau berkilau ini dikelilingi air yang disebut dengan Sita atau air yang jernih.

“Sita bahasa Sanskrit artinya diminum itu segar, tidak berbau, dan tidak berwarna. Nah ini luar biasa, daerah rawa-rawa dekat dengan pantai, tapi nanti kita akan melihat bahwa di (Candi) Kedaton ada sumur jernih sekali sudah kita tes Ph-nya 7. Nah ini satu yang luar biasa,” beber Agus.image medcom© Disediakan oleh Medcom.id

image medcom

Pembuktian tidak ada bayangan terlihat saat matahari berada di tengah di Candi Kedaton. Medcom.id/Renatha Swasty

Agus menyebut hasil penelitian juga membuktikan ada temuan sepanjang 7,5 km yang sangat padat. I Tsing juga pernah menyebut soal Swarnadwipa ketika tengah hari pada September, tidak ada bayangan saat berdiri ketika matahari di tengah.

“Kita pernah mengukur tiga tempat dalam hari yang sama, jam yang sama dilakukan pengukuran di Muara Takus, Palembang, Muara Jambi ternyata yang tidak ada bayangan di sini (Muara Jambi),” beber Agus.

Tak sampai di situ, Agus juga pergi langsung ke Nalanda. Dia membandingkan lanskap di Muara Jambi dan Nalanda. Hasilnya, ada kemiripan tata ruang, komponen, dan bangunan, seperti wihara, kuil, dan stupa, kolam kuno, kanal kuno, hingga jalur air.  

Tak cuma itu, sepanjang pemugaran di Candi Muaro Jambi juga ditemukan banyak keramik kuno, mata uang, artefak logam sisa peleburan, hingga arca.

“Maka ada indikasi bahwa di sini pusat pembelajaran agama Buddha yang salah satunya dikenal dengan pembelajaran Panca Widya,” tutur dia.

Pernah berjaya hingga ditinggalkan

Agus menyebut Muara Jambi menjadi tempat pembelajaran selama Abad ke-7 hingga ke-12. Banyak orang datang untuk belajar agama Buddha.

Dia meyakini Candi Muaro Jambi tak cuma sekadar tempat ibadah. Sebab, kata dia, apabila cuma tempat ibadah hanya ada satu candi seperti di Muara Takus.

Sedangkan, Kawasan Candi Muaro Jambi terdiri dari banyak candi. Bahkan, salah satu candi yaitu Kedaton luasnya mencapai 4 hektare (HA).

Agus menuturkan hasil penelitian terakhir yang melibatkan beberapa ahli, seperti di bidang arkeologi, botani, dan badan atom menemukan sesuatu luar biasa. Temuan-temuan residu diteliti dengan metode carbon dating hingga penelitian terhadap polen untuk melihat makanan yang dikonsumsi orang-orang yang tinggal dahulu.

Pihaknya menemukan bekas-bekas reruntuhan genting, bekas arang, bekas kayu bangunan yang masih ada pasak pakunya. Hasilnya, pada Abad ke-12 akhir ada kemunduran di Candi Muaro Jambi hingga akhirnya ditinggalkan.

“Nah itu terbukti dari carbon dating temuan-temuan terakhir yang menginformasikan itu meskipun angka tahun, tapi dari artefaknya bisa kita tahu bahwa itu adalah tiang-tiang yang terbakar, temuan paku, pasti ini suatu peristiwa yang luar biasa pada waktu itu,” beber Agus.

Agus berpendapat kemasyhuran Muara Jambi sebagai tempat belajar yang kemudian seperti hilang ditelan bumi lantaran berubahnya peradaban. Saat itu, jalur pelayaran tempat Bikkhu berlayar sudah dikuasai pendatang dari Timur Tengah sehingga tidak ada lagi jalan pulang.

“Setiap ganti peradaban satu hukum-nya sama, di mana yang lama itu tidak diingat,” tutur Agus.

Kini, sejarah besar Muara Jambi mulai dihidupkan kembali. Salah satunya, lewat revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi. Agus mengatakan revitalisasi menjadi sumber inspirasi bahwa bangsa kita dulu bisa mengekspor pengetahuan yang sampai sekarang mansyabnya dipakai seluruh dunia.

“Ini akan menjadi pengingat bahwa kita pernah besar, jadi bangsa besar, dan melahirkan peradaban kita,” ujar Agus.

sumber: medcom.id

Author: greengorga

Leave a Reply