Teknologi

Inovasi Pertanian Digital, Solusi Krisis Pangan di Tengah Lonjakan Harga Beras

Sejak kecil, saya sudah terbiasa dengan pemandangan sawah hijau menghampar, berkilauan di bawah terik matahari. Di desa tempat saya dibesarkan, kegiatan bertani adalah napas kehidupan. 

Para petani, dengan alat-alat tradisional, memanen padi yang kelak menjadi nasi di meja makan kami. Sebuah kehidupan sederhana namun damai. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa tantangan yang dihadapi petani kita tidak lagi sesederhana dahulu. Gagal panen makin sering terjadi, rantai distribusi yang kurang efisien menambah panjang masalah, pasokan beras langka, harga melonjak tak terkira.

Seperti kebanyakan orang, saya pun bertanya-tanya: Apakah ada solusi untuk mengatasi krisis pangan ini? Meskipun sepertinya jawaban tersebut sudah ada di depan mata kita, yakni teknologi digital.

Pertanian digital mungkin terdengar seperti jargon futuristik, tetapi inilah yang bisa menjadi penyelamat sektor pangan kita. Bayangkan sensor IoT yang memantau kesehatan tanaman secara real-time, drone yang menyemprotkan pestisida secara presisi, atau platform e-commerce yang menghubungkan petani langsung dengan konsumen tanpa perantara. 

Bayangkan ketika para petani tak lagi khawatir dengan pasokan air, karena aplikasi digital bisa memprediksi kapan hujan akan turun atau berapa kadar kelembaban tanah di lahan mereka. Tidak perlu lagi menebak-nebak kapan harus menanam atau kapan harus panen. Ini adalah masa depan yang sudah (harus) dimulai sekarang.

Bahkan menurut jurnal Digital Agriculture: The Future of Sustainable Farming in Asia (2023), adopsi teknologi digital mampu meningkatkan efisiensi rantai pasok hingga 30%. Angka ini tidak main-main, karena artinya, akan lebih sedikit pangan yang terbuang, dan harga beras yang melonjak bisa ditekan. Jadi, jika dulu beras menjadi simbol stabilitas pangan, sekarang teknologi adalah simbol stabilitas masa depan pangan kita.Peran Teknologi dalam Menekan Biaya Produksi dan Distribusi Pangan

Selama bertahun-tahun, rantai distribusi pangan Indonesia terkenal berliku-liku. Beras yang dipanen di desa bisa melewati beberapa tangan sebelum sampai ke meja makan kita, dan setiap tangan itu mengambil ‘potongan’ yang membuat harga semakin naik.

Di sini, teknologi memainkan peran yang sangat penting. Platform digital seperti marketplace pertanian memungkinkan petani menjual langsung hasil panennya kepada konsumen tanpa banyak perantara. Hasilnya? Harga yang lebih terjangkau bagi konsumen, dan keuntungan yang lebih besar bagi petani kita.

Bahkan, teknologi digital bisa membantu mengurangi biaya produksi. Misalnya, ada aplikasi yang bisa memantau penggunaan air dan pupuk secara efisien. Dulu, petani harus menebak-nebak berapa banyak pupuk yang dibutuhkan. 

Sekarang, dengan sensor digital, kita bisa mengoptimalkan penggunaan pupuk dan menghindari pemborosan. Teknologi ini juga bisa memprediksi kondisi cuaca, sehingga petani tidak lagi mengalami panen yang gagal akibat cuaca ekstrem. 

Namun, terlepas dari manfaatnya, teknologi ini tidaklah murah. Banyak petani kecil yang tidak memiliki akses atau kemampuan untuk mengadopsi teknologi ini. Di sinilah peran pemerintah dan lembaga swasta sangat penting. 

Bantuan subsidi untuk teknologi pertanian digital bisa menjadi solusi yang tepat. Dan tentu saja, edukasi terhadap petani juga diperlukan agar mereka bisa menggunakan teknologi ini dengan maksimal. Dalam hal inira sarjana ilmu pertanian mungkin perlu berkolaborasi dengan para sarjana ilmu teknologi informatika.

Bahkan, menurut laporan dari jurnal Digital Agriculture (2023), jika Indonesia bisa mengadopsi teknologi digital secara masif di sektor pertanian, kita bisa menurunkan harga beras hingga 15% dalam beberapa tahun mendatang. Ini bukan sekadar prediksi, tetapi kenyataan yang bisa kita wujudkan dengan kerja sama antara pemerintah, petani, dan sektor swasta.Masa Depan Pertanian, Kolaborasi Teknologi dan Petani

Namun, teknologi saja tidaklah cukup. Tanpa petani yang mau berinovasi, teknologi hanya akan menjadi alat yang mahal dan tidak terpakai. Seperti kata Henry Ford, “Coming together is a beginning; keeping together is progress; working together is success.” Kita tidak bisa berharap petani beralih ke teknologi tanpa dukungan dari berbagai pihak.

Bagaimana kalau kita membayangkan masa depan di mana setiap petani di Indonesia memiliki akses ke perangkat digital untuk mengelola lahannya? Di mana aplikasi cuaca bisa memprediksi kapan musim hujan akan datang, dan perangkat pintar bisa mendeteksi serangan hama sejak dini? Semua ini mungkin, tetapi hanya jika kita memulainya dari sekarang.

Pada dasarnya, kita tidak sedang mengangankan masa depan, melainkan mengupayakan masa depan dengan teknologi digital di bidang pertanian. 

Kita perlu membangun komunitas pertanian yang saling terhubung melalui teknologi. Jika di masa lalu petani hanya berkomunikasi dengan tetangga di desanya. Sekarang, dengan aplikasi digital, mereka bisa belajar dari petani di daerah lain, atau bahkan dari negara lain. Ini adalah kolaborasi yang bisa mengubah wajah pertanian Indonesia.

Mungkinkah kita berhasil melakukannya? Semoga.

Maturnuwun,

sumber: kompassiana

Author: greengorga

Leave a Reply