Produksi, Distribusi dan Konsumsi Ulos
Kawasan Danau Toba merupakan daerah asal etnis Batak Toba. Secara administratif Kawasan Danau Toba berada di Provinsi Sumatera Utara dan secara geografis terletak di antara koordinat 2°10’3°00’ Lintang Utara dan 98°24’ Bujur Timur. Kawasan Danau Toba mencakup bagian dari wilayah administrasi tujuh kabupaten yaitu Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang Hansudutan, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Simalungun. Kawasan Danau Toba merupakan dataran tinggi, dengan mendiami dataran tinggi masyarakat Batak Toba membutuhkan ulos untuk
menghangatkan badan dari dinginnya cuaca, kondisi inilah yang mengawali keberadaan ulos pada masyarakat Batak Toba.
Kebutuhan akan keberadaan ulos yang berfungsi untuk menghangatkan badan membuat banyak masyarakat di kawasan Danau Toba yang menenun ulos. Menenun adalah suatu
pekerjaan yang banyak dilakukan oleh perempuan. Kegiatan menenun telah menjadi budaya dalam menghasilkan kain tradisional yang telah berkembang hingga saat ini. Dahulu masyarakat Batak Toba menenun menggunakan alat tradisional dengan mengambil aktifitas bertenun di bawah rumah adat, seiring perkembangan zaman aktifitas menenun secara tradisional tetap ada namun kini alat tenunnya tenunnya telah berkembang menggunakan mesin sehingga mempermudah pekerjaan manusia dan proses produksi.
Hasil tenunan yang menggunakan mesin, motifnya hanya satu sisi dan permukaan kainnya terlihat polos. Dengan menggunakan mesin proses produksi lebih cepat dan motif yang diproduksi banyak yang sama. Tenunan yang dihasilkan menggunakan mesin harganya murah dan dapat dijangkau oleh konsumen. Sedangkan hasil tenunan menggunakan alat tradisional memiliki motif yang sama di kedua sisinya, baik luar maupun dalam dan benang tenunannya pun terkesan timbul. Pembuatan ulos dengan alat tenun tradisional memakan waktu yang lama antara tiga minggu sampai satu bulan lebih, tergantung jenis ulos yang ditenun dimana variasi kesulitan dan pola pengerjaannya berbeda-beda. Pengerjaan ulos secara tradisional dapat menghasilkan berbagai motif yang bervariasi, motif baru bisa diciptakan sendiri dan hasilnya terlihat lebih detail.
Untuk membuat ulos secara tradisional digunakan sebuah alat tenunan yang disebut hapulotan. Adapun bahan utama alat ini adalah kayu balok dan papan. Bagian-bagian alat tenun ini adalah; pamapan yaitu tempat menggulung dan merentang kain di bagian depan, hapit yaitu papan pengapit di bagian punggung penenun ulos, balobas yaitu mistar penahan benang, pargiunna yaitu papan di bagian ujung bawah dekat penenun, hatuling yaitu kayu penahan depan pamapan. Ditambah alat-alat penggulung benang, yaitu kelosan yaitu alat yang dapat diputar-putar, hulhulan yaitu tempat merentangkan benang melingkar secara vertikal, dan anian yaitu tempat merentangkan benang secara menyilang mendatar. Bahan-bahan pembuatan ulos adalah benang katun, benang tese, serta benang seratus, yang biasa didatangkan dari kota seperti Pematang Siantar, Medan dan Jakarta. Beberapa penenun membuat bahan benang secara tradisional dan diwarnai dengan teknik yang dicelup, dimana pewarnanya dibuat secara tradisional ataupun dengan pewarna modern.
Menurut Baudrillard, ciri dari masyarakat konsumen adalah masyarakat yang didalamnya terjadi pergeseran logika konsumsi yaitu dari logika kebutuhan menjadi logika hasrat, masyarakat tidak mengonsumsi nilai guna produk melainkan nilai tanda (Suyatno 2013 : 107-110). Memberikan ulos (mangulosi) menjadi alasan tersendiri bagi masyarakat batak, dimana ulos menjadi media bagi masyarakat Batak Toba untuk menunjukkan kasih sayang dan berso-sialisasi. Sebagaimana Douglas dan Isherwood dalam Featherstone berpendapat, bahwa dalam masyarakat saat ini barang-barang digunakan untuk membangun hubungan-hubungan sosial (Featherstone, 1992: 14). Ulos sebagai sarana bersosialisasi dapat dilihat pada upacara adat perkawinan, dimana prosesi pemberian ulos berada di akhir upacara adat. Seseorang akan bersosialisasi dengan orang lain atau kerabatnya sembari menunggu acara pemberian ulos kepada pengantin dilaksanakan. Dalam waktu menunggu tersebut mereka akan membahas mengenai berbagai hal, seperti keluarga, pekerjaan, kampung halaman, adat isiadat, sambil menikmati berbagai sajian makanan dan minuman yang disediakan oleh keluarga yang mengadakan pesta perkawinan.
Masyarakat hanya mengonsumsi citra yang melekat pada barang tersebut (bukan lagi pada kegunaannya) sehingga masyarakat sebagai konsumen tidak pernah merasa puas dan akan memicu terjadinya konsumsi secara terus menerus, karena kehidupan sehari-hari setiap individu dapat terlihat dari kegiatan konsumsinya, barang dan jasa yang dibeli dan dipakai oleh setiap individu, yang juga didasarkan pada citraan-citraan yang diberikan dari produk tersebut (Murti, 2005: 38). Ulos menjadi barang yang dikonsumsi oleh masyarakat, dimana ulos tidak hanya sebagai sebuah tenun tradisional yang digunakan pada berbagai upacara adat.
Kini ulos menjadi simbol status sosial seseorang di tengah-tengah masyarakat. Status sosial seseorang akan kelihatan saat menggunakan sebuah ulos, apabila seseorang sudah pernah mengawinkan anak laki-laki dan telah bercucu dari anaknya maka orang tersebut akan menggunakan ulos ragiidup dalam upacara adat, dimana statusnya sudah pada tingkatan marpahoppu (kakek/nenek). Namun kini upaya untuk mengaktualisasikan status sosial telah dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan mengenakan ulos yang cantik dan mahal harganya pada saat mengikuti upacara adat, seperti yang marak saat ini dengan menggunakan tenun Tarutung. Cara lain yang dilakukan yaitu dengan memberikan ulos yang cantik dan mahal kepada kerabat yang melaksanakan upacara adat, sehingga kerabat luas yang melihat menilai orang tersebut berada pada kelas menengah atas.
Gaya hidup merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik; tetapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain identitas (Chaney, 1996: 92). Gaya hidup ini dapat dilihat pada pelaksanaan pemberian ulos pada berbagai daerah di kawasan Danau Toba, dimana awalnya pemberian ulos hanya diberikan oleh kerabat terdekat, namun kini pemberi ulos juga sudah kerabat luas. Hula-hula yang terdekat memberikan ulos kepada borunya yang melaksanakan upacara adat, seperti orangtua kepada anak perempuannya atau saudara laki-laki kepadasaudara perempuannya (itonya). Namun kini pemberian ulos telah dilakukan oleh unsur hula-hula luas kepada pihak boru yang melaksanakan upacara adat. Apabila salah satu marga menjadi hula-hula dalam suatu upacara adat, rombongan marga tersebut akan memberikan ulos kepada pihak boru. Ulos yang diberikan disebut dengan ulos holong (ulos kasih). Pemberian ulos holong semakin marak dijumpai dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Pemberian ulos holong dapat dilihat pada upacara adat perkawinan, kematian atau upacara penggalian tulang belulang orang yang telah meninggal (mangokkal holi).
Dari segi ekonomi ulos adalah sumber mata pencaharian masyarakat di kawasan Danau Toba. Terdapat berbagai usaha berbasis ekonomi kerakyatan yang berasal dari ulos, diantaranya usaha tenun perorangan dan usaha tenun pabrikan serta pedagang yang membuka kios ulos. Sebagian partonun (penenun) menjual ulos sendiri, baik secara langsung ke pemesan maupun secara online, namun pada umumnya sebagian besar partonun menjual ulos kepada pemasok atau tauke. Harga ulos beragam berkisar Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 5.000.000,-. Dengan demikian partonun mendapat uang tunai dari setiap penjualan ulosnya.
Usaha ulos merupakan usaha berskala mikro (rumah tangga) yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan semakin meningkatnya konsumsi masyarakat akan kebutuhan terhadap ulos kini telah banyak tumbuh penenun-penenun baru di kawasan Danau Toba. Pertumbuhan ini dilatar belakangi oleh potensi ekonomi ulos yang dapat menjadi pendukung pendapatan utama masyarakat di kawasan Danau Toba, yaitu dari sektor agraris. Bahkan bagi sebagian masyarakat di kawasan Danau Toba menenun ulos telah menjadi mata pencaharian utama.
Penenun atau pedagang ulos telah memiliki pelanggan tetap, yang rutin menghubungi, datang langsung ke rumah atau kios untuk melihat dan membeli ulos. Seseorang dapat dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh suatu perusahaan. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu, apabila jangka waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggan tetapi sebagai seorang pembeli atau konsumen (Musanto, 2004: 128). Pembeli atau 7 pelanggan ulos berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti; Pematang Siantar, Medan, Pekanbaru, Jakarta dan Surabaya. Pembeli biasanya memesan ulos untuk dipakai sendiri, sedangkan pelanggan biasanya adalah pemasok yang akan menjual kembali ulos tersebut.
Ulos dapat dikembangkan sebagai potensi ekonomi masyarakat di kawasan Danau Toba. Kawasan Danau Toba saat ini merupakan destinasi wisata super prioritas yang ditetap-kan Presiden Republik Indonesia. Usaha ulos yang masih tradisional dapat dikembangkan menjadi industri pakaian modern yang berkualitas. Ulos dapat diproduksi dengan beragam desain yang menarik. Ide kreatif dapat menghasilkan jas, kemeja, celana, rok, tas dan berbagai barang lain yang berbahan dasar ulos dengan berbagai ukuran untuk dipasarkan kepada wisatawan.
Seiring dengan produksi ulos yang berkualitas perlu pula dilakukan pengembangan kios ulos. Kios-kios ulos yang telah ada di berbagai tempat wisata di kawasan Danau Toba dapat dikembangkan menjadi tempat yang bersih dan nyaman serta mempertunjukkan ulos yang berkualitas. Dengan demikian pengunjung yang datang dapat menjadi pelanggan. Adapun cara untuk mempertahankan pelanggan adalah memberikan kepuasan pelanggan yang tinggi. Sehingga akan lebih sulit bagi saingan untuk menerobos halangan dengan menawarkan harga lebih murah atau rangsangan lain (Sunyoto, 2014: 233-234). Pelanggan adalah sumber pendapatan dan keuntungan, pelanggan yang puas bukan saja akan kembali lagi melainkan akan membawa sahabat atau rekannya yang diharapkan akan menjadi pelanggan-pelanggan baru. Pelanggan yang merekomendasikan penenun atau pedagang ulos langganannya kepada sahabat atau rekannya akan terlebih dahulu berbagi cerita tentang pengalaman dan kualitas ulos dari langganannya. Dengan demikian sahabat atau rekannya tidak perlu lagi langsung datang ke penenun atau kios pedagang namun berkomunikasi dan bertransaksi melalui online.
Usahawan tidak cukup hanya dengan mengejar kepuasan pelanggan melainkan bagaimana bisa menjaga, peduli terhadap komplain pelanggan sekecil apapun dan dijaga agar tetap menjadi pelanggan yang setia selama bisnis beroperasi (Basrowi, 2011: 100).
Keberadaan desa wisata di kawasan Danau Toba juga merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Di desa wisata wisatawan dapat melihat langsung proses pembuatan ulos secara tradisional dan dapat langsung membeli ulos langsung dari penenun. Penenun juga dapat langsung menerima saran tentang kualitas ulos yang ditenun dan pesanan motif ulos yang diinginkan konsumen. Pelayanan penenun dan pedagang yang ramah perlu ditingkatkan seiring dengan pemberian harga ulos yang wajar dan terjangkau untuk peningkatan sektor perdagangan di Kawasan Danau Toba. Suasana ini memberikan kesan yang baik bagi wisatawan sehingga dapat menjadi strategi promosi yang efektif dalam menjaring wisatawan dari dalam dan manca negara.
Sumber: Harisan Boni Firmando