Tanah Telantar Ada 99.099 Hektar, BPN Akan Pantau Pakai AI
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat ada 99.099,27 hektare tanah di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tanah telantar di 23 provinsi.
Demi mengembalikan fungsi tanah telantar sebagaimana peruntukan awalnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) berupaya meningkatkan pengawasan dan mengembangkan metode pemantauan terbaru dengan artificial intelligence (AI).
Untuk efektivitas dan optimalisasi pemantauan hak atas tanah, Ditjen PPTR akan melakukan pengendalian secara holistik dengan metode pengendalian tahap awal, tengah, dan akhir, serta menggunakan teknologi Geo AI.
“Nantinya, pemantauan bisa dilakukan di Kantor Pertahanan (Kantah), di Kantor Wilayah (Kanwil), maupun Kementerian ATR/BPN pusat. Ini masih didiskusikan dan yang sedang mulai uji coba di Sulawesi Selatan,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) PPTR, Jonahar dalam keterangannya, Selasa, (26/11/2024), dikutip dari laman Kementerian ATR/BPN.
Tidak sedikit tanah yang dinyatakan telantar tersebut sebetulnya memiliki potensi besar, tetapi pemanfaatannya tidak dikelola dengan baik oleh pemilik hak atas tanahnya.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pemerintah dan seluruh pihak terkait, yang juga sejalan dengan visi Presiden Prabowo dalam Asta Cita, yaitu untuk mencapai swasembada pangan.
“Kami berorientasi, berpikiran bahwa tanah telantar yang banyak itu, mulai sekarang, detik ini, dan ke depan itu kalau bisa tidak telantar. Kami awasi betul tidak ada yang melanggar hukum, melanggar tata ruang, dan sebagainya sehingga akhirnya tidak terjadi sengketa juga,” tutur Jonahar.
Menurut Jonahar, tanpa adanya pengawasan yang efektif, banyak tanah yang sebelumnya dianggap telantar justru digunakan untuk kepentingan lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Sebagai contoh, tanah pertanian yang tidak dikelola dengan baik bisa beralih menjadi lahan perumahan, komersial, atau bahkan dibiarkan terbengkalai tanpa pemanfaatan yang jelas.
Hal ini tidak hanya merugikan potensi ekonomi tanah tersebut, tetapi juga berisiko menimbulkan sengketa, baik antar pemilik tanah, masyarakat, maupun pemerintah.
“Coba yang terjadi sengketa, biasanya tanah yang dikuasai masyarakat itu akibat dari pemilik Hak Guna Usaha (HGU) itu tidak memanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Misal, yang luas tanah di HGU untuk kebun 10.000, ternyata baru ditanam 2.000, akhirnya 8.000 dikuasai (dimanfaatkan tanahnya) oleh masyarakat. Terjadilah sengketa,” cerita Jonahar.
Penertiban tanah telantar juga dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar, serta Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar.
“Jangan sampai menjadi tanah terlantar. Itu tugas utama kita yang paling maju ke depan,” pungkas Dirjen PPTR itu.
sumber: kompas.com